Gertak Lau Biang adalah jembatan yang menghubungkan kampung Batukarang, Nageri dan Singgamanik. Jembatan ini adalah saksi bisu sejarah penindasan di Tanah Karo. Di awali tanggal 15 September 1904, Kiras Bangun atau Pa Garamata dan laskarnya menghancurkan jembatan penghubung antar kampung ini agar Belanda tidak bisa menyeberang ke tempat persembunyiannya di Singgamanik.
Jembatan Lau Biang ini hanyalah jembatan bambu. Pada masa taktik bumi hangus kampung-kampung di Tanah Karo pada agresi Belanda tanggal 25 Nopember 1947, anak-anak kampung dari Batukarang dan kampung-kampung lainnya menyeberangi Lau Biang untuk mengungsi.
Aliran sungai yang lewat dibawah jembatan itu sangat deras. Jarak dari puncak tebing ke sungai mencapai 30 meter. Banyak cerita mengerikan yang terdengar dari fenomena Gertak Lau Biang ini. Ada yang mengatakan di jaman Revolusi tepatnya ketika Belanda angkat kaki dari Tanah Karo, tempat tersebut menjadi saksi bisu dimana terjadi eksekusi besar-besaran terhadap mereka yang dituduh sebagai antek-antek Belanda termasuk Raja-Raja Karo seperti Sibayak dan Raja Urung.
Bahkan menurut seorang saksi sejarah Nande Sendep br Bangun dari kampung Batukarang, Gertak Lau Biang menjadi tujuan dari beberapa daerah di Sumatera Utara untuk pengeksekusian antek-antek Belanda. Mereka dibunuh dengan cara biadab. Ada yang dipancung, ditikam bahkan langsung dibuang begitu saja dari jembatan itu ke sungai. Biasanya pengeksekusian dilakukan pada malam-malam dini hari.
Nande Sendep menyebutkan jika pengeksekusian terhadap korban telah selesai biasanya mobil-mobil truk yang membawa para korban sembelihan langsung dijatuhkan ke Lau Biang malam itu juga. Sehingga tidak ada lagi jejak antara pembunuh dan terbunuh.
Berapa orang yang sudah mati di Gertak Lau Biang? Tidak ada yang bisa memastikan. Ada yang menyebut ribuan, ratusan ribu bahkan menurut Nande Sendep angkanya bisa mencapai satu juta orang.
Di jaman pendudukan Belanda, seorang Laskar Veteran yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan saat mobil-mobil truk Belanda akan melewati jembatan, mereka pernah menutup jembatan itu dengan pohon dan tanaman liar. Lalu membuat jalan terusan ke arah yang salah. Sehingga mobil truk Tentara Belanda mengira jalan itu tetap lurus dan akhirnya mereka jatuh ke sungai.
Bahkan menurut cerita orang-orang yang sering melintasi tempat itu, kalau air sungai Lau Biang itu jernih maka dari atas jembatan terlihat rangka- rangka truk dan mobil yang pernah jatuh.
Beberapa waktu terakhir ini Lau Biang dijadikan tempat untuk bunuh diri. Biasanya orang yang bunuh diri di tempat itu karena stress. Belum lagi pembunuhan sekeluarga yang pernah terjadi di Kabanjahe yang semua mayatnya dibuang ke sungai itu. Lau Biang juga pernah menjadi tempat pembuangan mayat ketika jaman G30S PKI.
Jika seseorang jatuh ke Lau Biang kemungkinan besar dipastikan mati. Maka untuk mencari mayatnya dibutuhkan beberapa hari untuk menunggu. Jika tidak mengapung di sekitar situ maka secepatnya pergi ke desa Perbesi. Karena biasanya mayat-mayat dari Gertak Lau Biang akan mengapung di Perbesi.
Tidak jauh dari jembatan itu, terdapat sebuah pancuran yang dinamakan Pancur Besi. Pancuran itu terletak di pinggir jalan. Hanya beberapa meter jarak antara pancuran untuk laki-laki dan perempuan. Menurut penglihatan beberapa saksi mata, jika kita melewati pancuran itu malam hari akan terlihat seorang gadis berambut panjang sedang mandi di pancuran itu.
Ada juga cerita tentang kehebatan pemancing sungai Lau Biang yang berjuluk “Pengkawil Lau Biang.” Menurut cerita Pengkawil Lau Biang biasanya memancing di sepanjang aliran sungai Lau Biang. Mereka berjalan dari Seberaya menapaki setiap tebing terjal sepanjang sungai hingga ke Perbesi kemudian pulang lagi dari jalan yang sama. Mereka meloncati tebing terjal dan menghadapi aliran air deras. Ada yang menyebutkan kalau Pengkawil Lau Biang itu bukan orang sembarangan. Selain mereka harus melewati aliran sungai dengan ilmu meringankan tubuh, pengkawil lau biang juga bisa memancing ikan di air sungai yang deras.
Gertak Lau Biang telah menjadi fenomena bagi masyarakat tanah Karo. Banyak cerita dan kisah yang mewarnai fenomena itu. Fenomena itu menjadi misteri masa lalu yang sangat mengerikan.
© Mejuahjuah.id /CATATAN : Setiap konten di website Mejuahjuah.id memiliki hak cipta. Jika ingin mengutip sebagian ataupun seluruh isi dari setiap artikel dalam website ini harap menghubungi kami atau memberikan asal sumber kutipan dari Mejuahjuah.id.