Mejuahjuah.id – Memang harus diakui dalam masyarakat suku Karo seperti juga suku-suku lain di Indonesia ada saja hal-hal yang menimbulkan rasa kurang puas atas sesuatu terhadap orang lain, sehingga kadangkala menimbulkan persengketaan, percekcokan, silang pendapat dan lain sebagainya, tetapi uniknya pada masyarakat suku Karo, semua persoalan selalu saja ada “serpang luah” atau jalan keluarnya bagi mereka. Kenapa? Masyarakat Karo lama, ada memiliki forum permusyawaratan yang disebut KERAPATAN INGAN RUNGGU yang dihadiri paling sedikit oleh Sangkep Si Telu atau Orat si Waluh dari Marga Silima.
Bilamana musyawarah rumah tidak dapat menyelesaikan sesuatu persoalan maka runggu kesain yang terdiri dari beberapa rumah mengambil inisiatif agar soal itu dibawa ke Rungguen Kesain atau Rungguen desa dengan cara sbb :
Pihak-pihak yang berselisih diundang ke sidang keluarga (runggu), dihadiri oleh Sangkep Nggeluh (Kalimbubu, Sembuyak, anak Beru). Dalam dan melalui runggu, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan secara kekeluargaan.
Runggu, sebagai Iembaga kekeluargaan yang hidup dalam kalangan masyarakat Karo, agak berbeda dengan musyawarah atau rapat yang Iain yang pernah ada kita saksikan.
Bagi masyarakat Karo, runggu adalah sidang keluarga yang sifatnya gabungan dari rapat kerja, diskusi, dan sidang pengadilan. Mungkin dapat dipersamakan dengan sidang atau masyarakat gabungan antar lembaga eksekutif,legislatif, yudikatif, konsultatif, dalam sistem Trias Politika plus.
Sidang keluarga (runggu) yang dihadiri sangkep nggeluh (sangkcp sitelu orat siwaluh) dilakukan dalam suasana dan semangat kekeluargaan dengan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan untuk merumuskan kesepakatan demi kepentingan bersama.
Budaya runggu ala Karo memang spesifik Karo. Mungkin banyak persamaannya dengan Synode yang biasa diselenggarakan oleh Gereja Protestan Presbiterian scbagai suatu musyawarah besar. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlandaskan Demokrasi Pancasilapun kila belum pernah melihat adanya sidang atau musyawarah gabungan antar Iembaga tinggi negara.
Mungkin karena budaya runggu ala adat Karo belum sempat dipelajari oleh ahli-ahli ketatanegaraan. Atau mereka terlalu silau pada trias politika. Padahal budaya runggu ala Karo adalah asli Indonesia dan yang lebih dari trias politik.
Kebiasaan menyelesaikan masalah secara runggu menyebabkan orang Karo menjadi terbiasa agak lamban mengambil keputusan. Tetapi mereka terlatih untuk menghargai dan mendengarkan usul, pertimbangan pendapat orang lain. Kebiasaan atau sikap dasar yang demikian ini tentu ada baik buruknya. Tetapi ada baiknya bila pemuka-pemuka Karo memperkenalkan budaya runggu kepada masyarakat non Karo.
Sebagai orang Karo, sejak lahir ia telah terikat pada hak dan kewajiban aday dan mempunyai 8 hubungan kekeluargaan. Empat diantaranya berasal dari atau karena ayahnya, dan empat lagi dari atau keluarga ibunya. Dari pihak ayahnya ia memperoleh Nande-Bapa, Bibi-Bengkila. Dari lbu ia mcmperoleh Mama-Mami, Turang-Turangku/Eda.
Orat Siwaluh memudahkan seseorang mengenal identitas dan memposisikan dirinya dalam pergaulan sehari-hari. Ditinjau dari saling hubungan antar Sangkep Sitelu dengan orat siwaluh, maka seseorang memperoleh 4 hubungan kekerabatan dengan sesama (setara), 2 hubungan sebagai Kalimbubu, dan 2 lagi sebagai Anak Beru.
Setiap orang menjadi Kalimbubu dari Anak berunya dan akan menjadi anak beru dari kalimbubunya serta juga menjadi sukut dengan sembuyak dan senina. Patron kekerabatan yang demikian membuat sesama orang Karo harus berkerabat dekat dan mematuhi kewajiban serta berhak menerima kehormatan sesuai dengan fungsinya dalam ikatan kekerabatan Sangkep Sitelu atau Orat si Waluh.
Patron kekerabatan yang diperlihatkan demikian ini adalah spesifik Karo. Pola-pola kekerabatan di Karo mungkin ada kemiripan dengan pola di Simalungun, Sipirok atau Pakpak, tetapi dalam prakteknya, tata cara dan upacara pcrkawinan dan lain-lain menurut adat Karo sangat berbeda dengan adat etnis Toba maupun Simalungun atau Angkola/Sipirok.
Dari sudut tata cara dan upacara perkawinan sesama orang Karo misalnya, tidak pernah digunakan tradisi etnis Iain. Bahkan dalam perkawinan si beru Karo dcngan Ucok marga Tobing misalnya, yang digunakan sebagai tata upacara adalah adat Karo. Bukan adat lain. Begitu pula dalam etnis lainnya yang selama ini dianggap sebagai Adat Batak berkaitan dengan Adat Karo atau sebaliknya.
Sekiranya ada orang Karo yang lebih ba gga disebut sebagai orang Batak, sebaiknya ia menguasai bahasa dari adat-istiadat dari semua suku-suku yang dianggap termasuk rumpun Batak. Jika tidak demikian, mungkin lebih baik menyebut dirinya sebagai orang Karo saja, atau lebih baik lagi bila mengaku sebagai orang Indonesia yang berasal dari Karo dan sebagainya.
Perlu ditambahkan, bahwa tidak ada niat dan kepentingan penulis untuk menambah beban mental masyarakat Karo maupun suku-suku bangsa lain yang selama ini digolong-golongkan sebagai etnis Batak, tetapi hanya ingin mengajak masyarakat Karo untuk sejenak memikirkan kembali perihal makna istilah Batak yang selama ini agak sering dipergunakan oleh mereka-mereka yang iseng.
Kiranya bagi Orang Karo : suku, bahasa, adat istiadat, seni budaya maupun teritorial. Menurut hemat penulis pemakaian sebutan Karo (tanpa pelengkap penjelas) untuk nama suku, bahasa, adat istiadat, seni budaya, daerah, lembaga kemasyarakatan, lembaga keagamaan yang spesifik Karo justru menggambarkan apa adanya yang sesungguh-sungguhnya.
Penataan kembali segala sesuatu dan hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan salah satu hakekat pembangunan hendaknya dibuang. Hakekat yang demikian hendaknya diberlakukan dalam menata kembali sebutan, nama atau identitas orang Karo dan lembaga serta hal-hal yang spesifik Karo. Dengan
demikian, maka seni budaya daerah, adat, lembaga- Iembaga yang spesifik Karo akan lebih mudah diperhatikan dan dikenal oleh orang non Karo. Dalam situasi pergaulan Nasional yang demikian, orang-orang Karo dengan segala latar belakang budaya, adat, dan penampilannya akan lebih mudah dikenal. Dan mendapat penilaian serta pengakuan yang sewajarnya. Nilai-nilai luhur yang memancar dari kehidupan orang Karo akan lebih mudah memperkaya khasanah pergaulan nasional. Sebab penyelenggaraan adat budaya Karo bukan sifatnya formalitas belaka, telapi adalah merupakan manifestasi dari sesuatu tanggung jawab dan demi cinta kasih sesamanya.
*) Diangkat dari Buku Pilar Budaya Karo (Sempa Sitepu, Bujur Sitepu, AG. Sitepu)
————————————————–
© Mejuahjuah.id /CATATAN : Setiap konten di website Mejuahjuah.id memiliki hak cipta. Jika ingin mengutip sebagian ataupun seluruh isi dari setiap artikel dalam website ini harap menghubungi kami atau memberikan asal sumber kutipan dari Mejuahjuah.id.