Mejuahjuah.id – Suku Karo sebagaimana halnya dengan suku lain mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Namun, pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (perkawinan), dan upacara persakralan.
Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat religius dengan menganut eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang dari luar merga-nya, dengan kekecualian pada merga Peranginangin dan Sembiring.
Sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya.
Prof. Dr. Hazairin, SH. Mengemukakan peristiwa perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan kesuburan (vruchtbaarheid). Upacara-upacara ini tadi oleh A. van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis dinamakan “rites de passage” atau upacara-upacara peralihan (Surojo Wignjodipuro, 1073:40). Upacara-upacara ini melambangkan peralihan status seseorang dalam hal ini kedua mempelai.
Setelah perkawinan ini kedua mempelai akan hidup bersama dalam satu rumah tangga sendiri. Ketergantungan antara mereka menjadi sedemikian dekatnya sehingga seolah-olah mereka adalah layaknya satu diri saja, seperti tergambar dalam sebutan untuk istri pada suku Jawa dengan “garwa” (sigaraning nyawa) atau belahan jiwa.
Rites de passage ini menurut A. van Gennep terdiri atas:
a. Upacara perpisahan dari status semula (rites de sparation),
b. Upacara perjalanan ke status yang baru (rites de merge),
c. Upacara penerimaan dalam status yang baru (rites d’aggregation).
Upacara-upacara ini dalam masyarakat mempunyai perbedaan-perbedaan di dalam pelaksanaannya tetapi makna dan tujuannya adalah sama. Pada masyarakat Karo proses suatu perkawinan ada dua cara, yaitu arah adat (menurut adat) dan arah ture (dengan persetujuan kedua mempelai saja).
Pada perkawinan yang sesuai dengat adat (arah adat) dahulu biasanya peranan orang tua yang dominan. Artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan calon mempelai (petandaken), meminang (maba belo selambar).
Apabila lamaran pada waktu maba belo selambar diterima, maka kedua belah pihak terikat dalam status pertunangan. Pada waktu pertunangan ini sebagai tanda tidak diberikan cincin sebagai tanda ikatan, tetapi disini harus disetujui dan disaksikan oleh keluarga belah pihak, yaitu senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga kelengkapan inilah menjadi jaminan yang paling kuat menurut adat Karo. Sedangkan pada perkawinan arah ture, maka di sini orang tua tidak berperan dari awal, karena perkawinan yang dilangsungkan adalah atas kehendak kedua belah pihak calon mempelai. Tetapi untuk mengikat pembicaraan mereka, orang tua jugalah yang akan melaksanakannya. (JT)
Sumber : Adat Karo – Darwan Prinst, SH
© Mejuahjuah.id /CATATAN : Setiap konten di website Mejuahjuah.id memiliki hak cipta. Jika ingin mengutip sebagian ataupun seluruh isi dari setiap artikel dalam website ini harap menghubungi kami atau memberikan asal sumber kutipan dari Mejuahjuah.id.