Mejuahjuah.id – Pendirian suatu kuta menurut konsepsi masyarakat Karo tidak bisa dipisahkan dengan hakikat sistem kemasyarakatannya, yaitu dalikan si telu atau rakut sitelu, yaitu:
- Senina (saudara)
- Anak Beru (kelompok pengambil dari kelompok a)
- Kalimbubu (kelompok pemberi kepada kelompok a).
Oleh karena itu, pendirian kuta haruslah menyertakan ketiga kelengkapan ini. Adapun proses berdirinya kuta adalah sebagai berikut:
1). Pertama-tama kuta (desa) dihuni oleh merga tertentu. Mereka ini disebut “si mantek kuta”
(kelompok pendiri kampong). Untuk mendirikan kuta ini, si mantek kuta membawa serta anak
beru, senina, dan kalimbubu-nya. Anak beru yang dibawa pada waktu mendirikan kuta ini
beserta keturunannya terus-menerus disebut anak beru si ngian rudang. Selanjutnya kalimbubu
yang dibawa pada waktu pendirian kuta ini beserta keturunannya disebut kalimbubu si majek
lulang. Ketiga kelompok inilah beserta keturunannya mempunyai peranan penting pada kuta itu,
sebab merekalah yang menurut adat secara turun-menurun memegang kendali pemerintahan
kuta. Semua tanah, hutan, kekayaan kuta dikuasai oleh pengulu. Pembukaan lading-ladang baru,
hutan hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin pengulu dan membayar sewa tanah.
2). Kemudian datanglah penghuni-penghuni baru ke kuta itu. Pendatang-pendatang baru ini
kemudian mempunyai hubungan kekeluargaan dengan si mantek kuta, karena adanya
perkawinan. Kelompok ini disebut ginemgem yang artinya orang yang diayomi. Mereka ini tidak
terkecuali dari kewajiban izin dan membayar sewa tanah, apabila mengusahakan tanah
persekutuan. Akan tetapi, mereka tidak diwajibkan untuk kerahen, yakni wajib kerja untuk si
mantek kuta.
3). Golongan ketiga adalah penduduk yang tidak mempunyai hubungan dengan si mantek kuta,
mereka disebut rayat derip (rakyat biasa) dengan kewajiban untuk membayar sewa tanah, izin
membuka tanah dan kerahen untuk si mantek kuta.
Demikianlah pada masyarakat Karo terdapat tiga kelompok masyarakat yang bersifat hierarkis, yaitu si mantek kuta, ginemgem, dan rayat derip. Tata susunan yang demikian tetap terpelihara. Pengurus kampung (kuta) dipegang oleh merga si mantek kuta dan dibantu oleh anak beru, senina-nya, sehingga merupakan suatu majelis. Dalam membuat keputusan-keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah kuta, maka majelis ini yang mengambilnya.
Dewasa ini hal tersebut telah mengalami perubahan sejak Indonesia merdeka, di mana setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin kuta, bukan lagi berdasarkan keturunan.
© Mejuahjuah.id /CATATAN : Setiap konten di website Mejuahjuah.id memiliki hak cipta. Jika ingin mengutip sebagian ataupun seluruh isi dari setiap artikel dalam website ini harap menghubungi kami atau memberikan asal sumber kutipan dari Mejuahjuah.id.