Sibayak 5

Sibayak 5 Mejuahjuah.id I Ensiklopedia Karo

Toerin-Toerin Joey Bangun – Mejuahjuah.id

Santa Perkeleng hidup bertiga dengan Nini Karo dan turangnya (adik perempuan) bernama Rasta. Keluarga mereka menempati kesain Jambur Tanduk Rumah Berneh, Batukarang. Nini Karonya menghabiskan waktu dengan man belo (makan sirih) sambil bercengkrama dengan para pernanden di Jambur. Sedang Rasta pergi ke juma menuai palawija setia harinya.

Bulang Santa Perkeleng seorang legenda Batu Karang. Dia adalah penggual (seniman) terkenal asal Batukarang. Dia bermain dari satu kampung ke kampung yang lain. Saat Bulangnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, acara gendangnya dihadiri oleh kelima Sibayak dan Raja-raja Urung seluruh Karo. Bahkan Datuk Kecil raja Sunggal bermerga Surbakti, yang melecutkan perang Sunggal juga menyempatkan diri untuk hadir melayat. Sementara Datuk Hamparan Perak bermerga Perangin-angin turut menyumbangkan air mata dukanya. Penghargaan yang telah diberikan bulangnya untuk dedikasi kebudayaan Karo begitu dirasakan oleh seluruh masyarakat Karo.

Kebencian Santa Perkeleng pada Belanda berawal dari bencana yang menimpa kedua orang tuanya. Bencana yang telah melecut api dendam dalam sum-sum sukmanya. Di sisi lain Nini Karonya sudah menanamkan ketangguhan dalam mendidiknya. Dia berharap Santa Perkeleng suatu saat nanti bisa membalaskan dendam kedua orang tuanya.

Cerita itu diawali  ketika  Sangap Bangun menikahi seorang kembang desa Lingga, Ulina beru Sinulingga. Setahun erjabu (menikah) Ulina melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Santa Perkeleng. Nama Santa Perkeleng mereka berikan dari pemahaman dokter rumah sakit NZG (Nederlandsche Zending Genootschap) Kabanjahe, tempat Ulina melahirkan. Dokter Belanda bernama Ruud van den Hout mengatakan nama Santa berarti orang suci bagi orang Kristen. Perkeleng diambil dari bahasa Karo yang berarti penyayang. Jadilah filosofi besar dari nama Santa Perkeleng yang berarti orang suci penyayang. Sejak itu kedua orang tuanya mengenal siapa Yesus Kristus.

Dua tahun kemudian lahirlah adik Santa, seorang perempuan yang mereka beri nama dengan nama khas Karo, Rasta. Santa Perkeleng sangat menyayangi turangnya itu. 

Sangap adalah seorang Perlanja Sira yaitu pemikul garam, pedagang yang membawa barang dagangan dengan pikulan, dibawa dari Karo dataran tinggi ke dataran rendah atau sebaliknya. Selain membawa garam biasanya mereka membawa ikan kering, linen, perhiasan, tembikar, periuk, bumbu, timah, geretan api, kelapa ataupun sirih.

Santa Perkeleng sangat bangga pada bapanya. Dia begitu senang ketika sang bapa memberikan luah sebuah buku berbahasa Belanda. Buku itu dipenuhi gambar-gambar negeri itu. Bapanya tidak pernah mengatakan padanya dari mana dia mendapatkan buku itu. Dia hanya berharap agar suatu saat nanti Santa Perkeleng bisa membaca seperti orang-orang Belanda itu.

Ketika itu kebencian pada Belanda menyulut kemarahan pada rakyat Karo. Perjuangan harus ditegakkan dan kampung harus dipertahankan. Tapi persenjataan tidak memungkinkan. Maka banyak perlanja sira menyeludupkan dalam pikulan mereka bedil dan karben dari Medan.

Linangan air mata itu berawal dari Binjai. Sebuah kota yang menurut sejarah berasal dari kata ben i je yang dalam bahasa Karo berarti bermalam di sana. Konon nama itu dibuat oleh para perlanja sira yang singgah bermalam di kota itu sewaktu akan melanjutkan perjalanan ke Pangkalan Brandan.             Malam di Binjai semakin temaram ketika Sangap dan teman-temannya sudah mendapatkan sejumlah bedil dari pedagang Penang. Dengan rapi mereka memasukkan bedil-bedil itu ke dalam pikulan dan menyembunyikannya dengan cara menutupnya dengan barang-barang bawaan lain. Mereka tidak mempedulikan burung gagak di pepohonan berkicau menakutkan sewaktu memasuki hutan Langkat.

Sekelompok tentara Belanda yang sedang berpatroli mencegat Sangap dan ketiga temannya. Mereka menggeledah pikulan para Perlanja Sira itu. Sebelum mereka menemukan bedil-bedil seludupan dalam pikulan itu, Sangap dan teman-temannya berusaha lari. Tapi naas bagi Sangap, nasibnya tidak seperti keberuntungan yang tersirat dari namanya, sebutir peluru tertancap di jantungnya. Dua temannya yang lain juga terganjal nasib serupa. Hanya seorang yang berhasil melarikan diri. Dia meloncat ke sebuah jurang. Nasib telah menentukan agar dia selamat.

Teman Sangap yang selamat itu membawa mayat ketiga temannya dengan kereta lembu ke Tanah Karo. Batukarang terpukul waktu jenazah Sangap tiba di kuta itu. Ulina istrinya tidak sanggup menahan derita. Berulang kali Santa, Rasta dan Nini Karo berusaha menghiburnya. Tapi takdir telah menentukan kalau dia tidak bisa hidup tanpa orang yang dicintainya. Sebulan kemudian Ulina menyusul ketenangan Sangap. Dia tidak sakit. Dia mate medem (meninggal di waktu tidur).

Ketika itu Santa Perkeleng berumur lima tahun sedang Rasta tiga tahun. Mereka tidak menangisi kepergian nande. Mereka justru bahagia karena nande tidak lagi hidup dalam penderitaan. Nande telah bertemu bapa.

 Santa Perkeleng menganggap buku Belanda yang dulu diberikan bapanya pembawa petaka. Dia membakar buku itu dipinggir Pancur Siwah. Ketika buku itu menjadi abu, ada dorongan spritual yang dirasakannya masuk ke dalam sukmanya. Kebencian pada Belanda berkali-lipat telah mengusai batinnya. Belanda harus menanggung akibat dendamnya.

Bersambung

© Mejuahjuah.id /CATATAN : Setiap konten di website Mejuahjuah.id memiliki hak cipta. Jika ingin mengutip sebagian ataupun seluruh isi dari setiap artikel dalam website ini harap menghubungi kami atau memberikan asal sumber kutipan dari Mejuahjuah.id.
Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published.