Mejuahjuah.id – Dalam cerita-cerita klasik Karo yang dikenal dengan “Turi-turin si adi” terdapat ungkapan yang berbunyi “jelma si mehamat emkap jelma si banci janah sanggup menekan ras nasapken sumbang si siwah ibas kinigeluhenna nari” yang artinya, “orang yang sopan adalah orang yang dapat serta sanggup menghilangkan dan menghapus larangan yang sembilan dari dalam kehidupannya”. Adapun larangan yang sembilan jenis itu adalah:
1. Sumbang Perkundul (cara duduk yang tidak sopan)
Tikar merupakan sarana atau tempat duduk umum bagi masyarakat Karo. Bagi orang kebanyakan biasanya cukup dibentangkan tikar yang lebar (amak belang) dan bagi orang-orang terhormat dibentangkan tikar halus (amak cur) di atas tikar yang lebar itu.
Bagi masyarakat Karo cara duduk yang sopan adalah “muncayang” (bersila) dan “terdo” (menjulurkan kedua kaki) bagi wanita yang sedang menyusui atau memangku anak. Disamping itu kita pun harus mengenal “simehangke” (orang yang kita hormati seperti mami, bengkila, turangku, eda dan silih), karena dalam adat Karo dilarang duduk berdampingan apalagi bersenetuhan badan dengan mereka. Banyak hal atau peraturan yang harus dituruti menganai cara duduk ini.
2. Sumbang Pengerana (cara berbicara yang tidak sopan/kasar)
Ada ungkapan yang berbunyi “mulutmu adalah harimaumu”, suatu ucapan yang dapat membuat kita dibenci orang dan menambah lawan, sebaliknya mungkin juga membuat orang menyenangi kita dan menambah teman. Dari tutur kata seseorang dapat diketahui apakah dia jujur atau dapat dipercaya yang memberi simpatik kepada orang lain.
3. Sumbang Pengenen (cara melihat yang tidak baik)
Ada bagian-bagian tubuh yang pantang atau tabu untuk dilihat, apalagi dengan saengaja dilihat atau diintip. Dalam bahasa Karo ada ungkapan yang berbunyi “kalak si nggit ngintip tah pe nungkir si la tengka, banci terpiluk matana, janah kalak si rusur ngenen si la mehuli tahpe si mereha banci nge pentang matana”.
4. Sumbang Perpan (cara makan yang tidak sopan)
Pada saat makan tidak “ngulcap” (mengeluarkan suara saat mengunyah) dan jangan “merimah” (nasi berjatuhan di luar piring). Juga tidak memakan makanan yang diharamkan oleh aturan adat berdasarkan marga.
5. Sumbang Perdalan (cara berjalan yang tidak baik)
Ketika berjalan langkah kaki tanpa hentakan dan buatlah ayunan tangan yang sewajarnya agar kita tidak terkesan “metumbur” (ceroboh). Cara jalan yang baik dapat menunjukkan perangai seseorang. Seperti lagu muda/i Karo : “pengodakndu e, perdalandu e, erbahan aku bene…” yang artinya cara berjalan itu membuat orang simpatik dan tertarik.
6. Sumbang Pendahin (pekerjaan yang dibenci orang)
Kerjakanlah yang baik dan berguna serta tidak mengganggu ketenteraman orang lain. Seperti nasihat orang tua: “ola lakoken pendahin si la tengka janah ola dadap pendahin si mereha” yang artinya jangan lakukan pekerjaan yang terlarang dan jangan sentuh pekerjaan yang memalukan.
7. Sumbang Perukuren (cara berfikir yang jelek)
Dalam hidup bermasyarakat kita harus saling menghargai dan menghormati antara sesama warga masyarakat dan tidak berprasangka buruh terhadap orang lain.
8. Sumbang Peridi (cara mandi yang dilarang oleh adat istiadat)
Secara tradisional tempat mandi atau pancuran di desa-desa Tanah Karo merupakan pemandian umum. Zaman dulu orang-orang mandi di pancuran tanpa basahan. Terkadang, satu kampung hanya mempunyai satu pancuran saja buat pria dan wanita. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, untuk menjauhkan diri dari sumbang peridi, maka perlu diadakan tata krama tradisional buat umum atau buat setempat/lokal.
Biasanya pemandian di desa terdiri dari satu atau lebih pancuran yang dapat dipakai secara bergantian. Untuk menjaga supaya jangan terjadi sumbang pengenen, maka lazimnya pancuran tradisinal tersebut dilindungi oleh pagar hidup, misalnya bambu cina.
Dengan demikian orang bebas mandi. Disamping itu ada pula giliran mandi buat kaum wanita dan buat kaum pria. Untuk mengetahui giliran siapa yang sedang mandi, apakah pria atau wanita. Maka dibuatlah berupa dialog singkat misalnya seorang pria (A) hendak mengetahui siapa yang sedang mandi (M) dipancuran:
A: “mboah ?” (“siapa ?”)
M: “diberu !” (“wanita !”)
Karena yang sedang mandi ternyata “wanita” maka si pria A harus menanti sampai wanita itu selesai mandi.
Lalu bagaimana halnya kalau yang sedang datang dan yang sedang mandi sama-sama pria atau sama-sama wanita? Apakah yang baru datang bebas masuk ke pancruan? Belum tentu. Ada orang yang walaupun berjenis kelamin sama, tetapi dilarang oleh adat mandi bersama, misalnya mama (mertua laki-laki pria), kalak si ereda (wanita yang beripar), ersilih (pria yang beripar). Untuk mengetahui hubungan itu, digunakan dialog:
A: “Mboah….”
M: “Dilaki…..”
A: “Ise e….”
M: “Si Pola… bapa si Gumbar…”
Dengan demikian A dapat mengenal siapa yang sedang mandi tersebut.
9. Sumbang Perpedem (cara tidur yang tidak baik)
Rumah tradisional Karo atau rumah adat karo yang disebut “si waluh jabu” bentuknya seperti ruangan besar yang terbagi atas delapan bagian yang didiami masing-masing oleh satu keluarga, maka tidaklah terdapat kamar-kamar tidur. Yang ada hanya buat orang tua itu pun hanya disekat dengan tikar sebagai dindingnya. Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa anak laki laki yang sudah remaja tidak tidur di rumah adat, tetapi mereka tidur di jambur (pondok remaja) atau di keben (lumbung penyimpanan padi). Sementara para gadis diizinkan tidur di rumah adat, tetapi biasanya berkumpul di jabu nenek atau bibi dan lebih disenangi di jabu ture (keluarga yang dekat beranda) untuk memberi kesempatan kepada mereka berpacaraan.
Disadur dari makalah Sumbang si Siwah pada Masyarakat Karo
Karangan: Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (Alm)